Angklung adalah alat musik yang terbuat dari
ruas-ruas bambu, cara memainkannya digoyangkan serta digetarkan oleh
tangan, alat musik ini telah lama dikenal di beberapa daerah di
Indonesia, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.
Sejarah Angklung sangat erat kaitannya dengan seni karawitan sebagai
media upacara penghubung antara manusia dan Tuhannya, Yang Maha Kuasa.
Bukti tertulis penggunaan Angklung tertua yang ditemukan terdapat pada prasasti Cibadak
bertahun 952 Saka atau 1031 SM, di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Pada
prasasti tersebut, diterangkan bahwa Raja Sunda, Sri Jayabuphati,
menggunakan seni Angklung dalam upacara keagamaannya. Kita juga dapat
menemukan bukti lain dalam buku Nagara Kartagama tahun 1359, yang
menerangkan penggunaan Angklung sebagai media hiburan dalam pesta
penyambutan kerajaan. Kata Angklung diambil dari cara alat musik
tersebut dimainkan. Kata Angklung berasal dari Bahasa Sunda “angkleung-angkleungan”
yaitu gerakan pemain Angklung dan suara “klung” yang dihasilkannya.
Secara etimologis , Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada
dan “lung” yang berarti pecah. Jadi Angklung merujuk nada yang pecah
atau nada yang tidak lengkap.
Kini, Angklung telah menjadi alat musik internasional. Banyak
Negara-negara lain mengembangkan angklung, dikarenakan beragam manfaat
yang didapat. Filosofi angklung 5M (mudah, meriah, menarik, mendidik,
massal) membuat angklung makin digemari di seluruh penjuru dunia. Pada
jaman dahulu kala, instrumen angklung merupakan instrumen yang memiliki
fungsi ritual keagamaan. Fungsi utama angklung adalah sebagai media
pengundang Dewi Sri (dewi padi/kesuburan) untuk turun ke bumi dan
memberikan kesuburan pada musim tanam. Angklung yang dipergunakan
berlaraskan tritonik (tiga nada), tetra tonik (empat nada) dan penta
tonik (5 nada). Angklung jenis ini seringkali disebut dengan istilah
angklung buhun yang berarti “Angklung tua” yang belum terpengaruhi
unsur-unsur dari luar. Hingga saat ini di beberapa desa masih dijumpai
beragam kegiatan upacara yang mempergunakan angklung buhun, diantaranya:
pesta panen, ngaseuk pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren
taun, nadran, helaran, turun bumi, sedekah bumi dll.
Pada Tahun 1938, Daeng Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche
School (HIS) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, melakukan modernisasi
alat musik angklung dari alat yang berskala tangga nada pentatonis
(tangga nada tradisional) menjadi angklung kompleks yang berskala tangga
nada diatonis (tangga nada modern). Angklung ini dapat memainkan
lagu-lagu populer, musik nasional, dan lagu Barat maupun musik klasik.
Disebut Angklung modern (diatonis) karena nadanadanya disesuaikan dengan
skala nada diatonis, yaitu do – re – mi – fa – sol – la – si, dan
angklung diatonis ini biasa disebut juga “Angklung Padaeng”, karena
jasanya terhadap perkembangan Angklung dan pendidik musik. Angklung
Modern (Padaeng) mulai diperkenalkan pada masyarakat internasional di
tahun 1946 pada malam hiburan perundingan Linggar Jati. Tahun 1950 dan
1955, Angklung modern pun ditampilkan pada Konferensi Asia Afrika. Kini
Angklung Modern (Padaeng) memiliki fungsi tambahan sebagai sarana
pendidikan musik, karena Angklung dapat memupuk sifat kerjasama,
disiplin, kercermatan, keterampilan dan rasa tanggungjawab. Demikian
pula mengenai hal-hal yang merupakan dasar pokok dalam pendidikan musik,
seperti membangkitkan perhatian terhadap musik, menghidupkan musik dan
mengembangkan musikalitas, melodi, ritme dan harmoni. Atas pemikiran
tersebut, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia No. 182/1967 tertanggal 23 Agustus 1968
yang menyatakan Angklung sebagai alat pendidikan musik nasional.
Sejak tahun 1971, pemerintah Indonesia menjadikan Angklung sebagai
sarana dalam program diplomasi budaya. Angklung sejak saat itu menyebar
luas ke berbagai negara. Di Korea Selatan, hingga kini tercatat lebih
dari 8.000 sekolah memainkan Angklung. Di Argentina, Angklung telah
menjadi mata pelajaran intrakurikuler yang menarik bagi siswa, demikian
pula di Skotlandia. Sejak tahun 2002, Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia telah memberikan kesempatan bagi siswa-siswi dari mancanegara
untuk belajar dan mengenali Angklung di Indonesia. Kini Angklung tidak
hanya menjadi alat musik kebanggan Indonesia, tetapi menjadi media untuk
meningkatkan rasa persabatan antar bangsa di dunia.
0 komentar:
Posting Komentar